Akantetapi, Ratu Ayu Kencana Wungu menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minak Jinggo ingin menyerang kerajaannya. Maka, digelar sayembara kedua. Datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan.
CandiSurya Ajna Paramithapedarmaan dari Ratu Ayu Kencana Wungu yg terlupakanDesa Kemasantani , Gondang, Mojokerto, Jawa candi,yg hampir t
MustikaRatu Kencana Wungu ini dikhususkan untuk anda yang barangkali mengalami masalah dalam hal asmara, percintaan baik soal pencarian jodoh ataupun berrumah tangga,sukar mencari pasangan,sering menjalin hubungan namun selalu kandas di tengah jalan,kekasih berpaling kepada cinta yang lain, berumah tangga sering terjadi cekcok dan tidak harmonis,
MustikaRatu Kencana WunguMustika yang yang kami dapatkan pada bulan Muharram / Suro tepatnya tanggal 7 kemaren, dihuni berkhodam sosok ghaib berpakaian kebe
Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID B2OuoaPDFdOUZTxbLAjNhnS3Mg2fw3KMiJOAr2sxUQ03lqEWRCjsdw==
Dari beberapa referensi yang ditemukan, terdapat Dua Versi Certita Tentang Sang Ratu Kencana Wungu yang banyak sekali beredar baik versi cetak maupun digital. Versi 1; Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari 1351 diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Silsilah Tribhuwana Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi atau disingkat Tribhuwana adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara 1309-1328 ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Silsilah Tribhuwana Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi atau disingkat Tribhuwana adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara 1309-1328 ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat. Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang. Pemerintahan Tribhuwana Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya Gayatri tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula. Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman. Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak rempah-rempah sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit. Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng Bali, Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja raja bawahan Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur. Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit. Akhir Hayat Tribhuwana Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 sesudah mengeluarkan prasasti Singasari. Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk. Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan. Versi 2; Tribhuwana Tunggadewi Kencono Wungu atau Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328-1351 Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari Prasasti Singasari 1351 dan piagam Berumbung tahun 1351 diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi disingkat Tribhuwana adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wijat dan kakak tiri bernama Jayanagara . Wafatnya Jayanegara menimbulkan polemik yang cukup rumit karena beliau belum memiliki keturunan. Sesuai catatan sejarah sejak kematian Jayanegara dibutuhkan waktu selama setahun untuk menunjuk siapa yang berhak menjadi ratu Majapahit. Sesuai dengan aturan silsilah kerajaan, yang berhak menggantikan Sri Jayanegara sebagai raja adalah saudaranya, salah satu dari putri Sri Gitarja dan Dyah Wyat. Sebelum pilihan dijatuhkan ke salah satunya, kekuasaan masih dipegang di tangan Ratu Gayatri, istri mendiang Raden Wijaya raja Majapahit pertama. Hal ini karena adanya potensi konflik yang dianalisis oleh Gajah Mada apabila penunjukan kekuasaan dilakukan secara tergesa-gesa. Analisis Gajah Mada berpusat pada kenyataan bahwa pengganti Sri Jayanegara sebagai raja Majapahit adalah seorang perempuan. Menilik pada sejarah, sebetulnya tidak menjadi masalah seorang perempuan menjadi Raja. Bukti nyatanya adalah putri Shima yang berhasil menegakkan kerajaan walaupun dia seorang perempuan. Walaupun demikian, Gajah Mada tidak bisa penyamarataan kondisi antara putri Shima dengan dua orang putri yang sama-sama berpotensi menggantikan Sri Jayanegara sebagai ratu Majapahit. Lambang Majapahit Gajah Mada berkesimpulan bahwa memang tidak masalah seorang perempuan menjadi raja asalkan didampingi oleh figur yang kuat. Nah, figur kuat ini berasal dari laki-laki yang nantinya mendampingi mereka sebagai kerajaan telah memilih para ksatria sebagai pendamping kedua putri tersebut. Sri Gitarja dijodohkan dengan Raden Cakradara. Sedangkan Dyah Wyat dijodohkan dengan Raden Kudamerta. Keduanya adalah penguasa-penguasa wilayah setingkat kabupaten yang menjadi bagian dari Majapahit. Bersamaan dengan wafatnya raja Sri Jayanegara, kedua putri kerajaan tersebut juga dinikahkan dengan pasangannya. Dan atas saran Gajah Mada akhirnya Ratu Gayatri menunjuk kedua putrinya untuk memimpin Majapahit. Menurut Nagarakretagama pupuh 49, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya Gayatri tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang tidak punya keturunan tahun 1328 yaitu 1 tahun setelah meninggalnya prabu Jayanegara. Nagarakretagama seolah memberitakan kalau takhta Jayanagara diwarisi Gayatri, karena ibu tirinya itu adalah putri Kertanagara. Mengingat Gayatri adalah putri bungsu, kemungkinan saat itu istri-istri Raden Wijaya yang lain sudah meninggal semua. Karena Gayatri telah menjadi pendeta, maka pemerintahannya pun diwakili oleh Tribhuwanotunggadewi. Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Pada masa pemerintahan Jayanagara 1309-1328 Tribhuwana Tunggadewi diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Suami Tribhuwana bernama Cakradhara yang bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Pada Piagam Trowulan Tahun 1358 dikatakan bahwa Kerthawardhana adalah keturunan Raja Wisnuwardhana di perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai Yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang. Celengan Peninggalan Majapahit Masa Pemerintahan Tribhuwana Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Brumbung tahun 1329. 1. Mahamentri Katrini Rakyan Menteri Hino Dyah Anarjaya Rakyan Menteri Halu Dyah Mano Rakyan Menteri Sirikan Dyah Lohak 2. Sang Panca Wilwatika Rakyan Patih Majapahit Pu Krewes Rakyan Demung Pu Tanparowang Rakyan Kanuruhan Pu Blen Rakyan Rangga Pu Roda Rakyan Tumenggung Pu Wayuh Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa dari Patih Gajah Mada. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Bedahulu Bali Tahun 1347. Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Adityawarman kemudian menjadi uparaja raja bawahan Majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur. Pada masa awal pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang menjadi patih amangkubumi adalah Arya Tadah. Pada tahun saka 1251 Arya Tadah sakit, dan merasa sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai patih Amangku bumi. Arya Tadah kemudian mohon kepada sang Ratu agar membebaskannya dari jabatannya tersebut, namun permintaan tersebut masih ditolak karena belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikan kedudukan tersebut. Arya Tadah merasa bahwa orang yang tepat untuk menggantikan kedudukannya sebagai patih Amangku Bumi adalah Gajah Mada karena Jasa jasanya terhadap Prabu Jayanegara dan penobatan Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai Ratu Majapahit. Arya Tadah kemudian mendekati Gajah Mada untuk maksud tersebut namun Gajah Mada masih enggan menerima tawaran tersebut. Setelah didesak terus akhirnya Gajah Mada menerima tawaran tersebut sepulang dari menumpas pemberontakan di Sadeng. Dari peristiwa tersebut dapat kita ketahui bagaimana hati hatinya Gajah Mada mengambil sikap terhadap orang lain. Gajah Mada tidak ingin mengambil kedudukan orang lain, namun mengharapkan kerelaan dari orang yang menduduki jabatan tersebut karena dengan kerelaan tersebut diharapkan kerjasama dirinya dengan pejabat yang lama yaitu Arya Tadah akan berjalan dengan baik. Peristiwa penting pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijaya Tunggadewi Pemberontakan Sadeng Pada tahun 1331 terjadi pemberontakan di daerah Sadeng dan Keta. Gajah Mada mempunyai cita cita untuk menundukkan Sadeng terlebih dahulu sebelum menerima jabatan sebagai patih Amangku bumi. Mengenai Keta dan Sadeng, diceritakan bahwa kedua wilayah bagian Majapahit tersebut berniat memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan melakukan persiapan serius. Diantaranya adalah melakukan perekrutan besar-besaran terhadap warga sipil untuk dididik keprajuritan di tengah hutan Alas Larang. Tujuannya adalah memperkuat angkatan perang kedua wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan dibenturkan terhadap kekuatan perang Majapahit. Pada saat itu, Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan Swarnabhumi, di pulau Sumatra. Kedatangan raja Swarnabhumi – Adityawarman - ke Majapahit digambarkan menggunakan kapal perang berukuran besar yang belum ada tandingannya dari kesatuan pasukan laut Majapahit. Adityawarman sendiri adalah saudara sepupu mendiang prabu Sri Jayanegara, sekaligus sahabat yang cukup dekat dengan Gajah Mada. Penggambaran besarnya ukuran kapal perang dari Swarnabhumi agaknya dimaksudkan sebagai cikal bakal adopsi teknologi yang menjadikan besarnya armada laut Majapahit kelak ketika kampanye penyatuan nusantara dimulai. Dilihat dari kekuatan gelar pasukan, kekuatan Keta-Sadeng bukanlah apa-apa dibanding dengan kekuatan pasukan Majapahit. Namun, dibalik kekuatan fisik pasukan segelar sepapan yang belum sebanding dengan pasukan Gajah Mada, Keta-Sadeng dilindungi oleh kesatria mumpuni yang sakti mandraguna. Ksatria ini adalah mantan pelindung Raden Wijaya, raja Majapahit yang pertama. Nama ksatria tersebut adalah Wirota Wiragati, terkenal dengan kesaktiannya memiliki ajian sirep, ajian panglimunan, dan kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan daya penglihatan pasukan mana pun. Tetapi alangkah kecewanya Gajah Mada bahwa pengepungan Sadeng terjadi sebelum kedatangannya, Ra kembar mendahului maksud Gajah Mada. Mengetahui hal tersebut para Menteri Araraman dan Gajah Mada sangat marah. Gajah Mada kemudian mengirim 5 bengkel yang masing masing terdiri dari 5 orang untuk menghajar Ra Kembar. Mereka kemudian bertemu dengan Ra Kembar di hutan dan sedang duduk di sebuah dahan pohon yang roboh, seperti naik kuda dan tangannya memegang cemeti. Peninggalan Majapahit Para utusan kemudian menyampaikan kemarahan dari Gajah Mada dan bermaksud akan menghajar Ra kembar. Mengetahui serangan tersebut Ra kembar mencemeti dahi para utusan namun para utusan dapat menghindar dan melaporkan hal tersebut kepada Gajah Mada. Gajah Mada sangat kecewa karena cita citanya untuk menundukkan Sadeng tidak terlaksana karena telah didahului oleh Ra Kembar. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya Adityawarman. Ra Kembar adalah putra bungsu Raja Pemelekahan, ia adalah prajurit yang tangguh dan ahli menunggang kuda serta menggunakan senjata cemeti. Dalam karangannya De Sadeng oorlog en de myte van groot Majapahit, Prof CC Berg menyamakan Sadeng tersebut dengan daerah Bali, seandainyq di Bali terdapat daerah bernama Sadeng dan Keta maka penyamaan tersebut akan mudah di pahami. Namun di daerah Bali tidak ada tempat yang bernama Sadeng maupun Keta. Prof CC Berg beranggapan bahwa kata Sadeng adalah kata wangsalan yang maksudnya Bali. Kata Sadeng berasal dari kata sedeng yang artinya lain atau beda. Kata beda hampir sama dengan kata Bada yaitu suatu kerajaan yang bernama Badahulu di daerah Bali. Sedangkan Keta dihubungkan dengan Kuta yaitu suatu daerah yang terdapat di Pulau Bali bagian selatan. Penyebutan dengan nama samaran yang demikian dimaksudkan untuk menyelubugi nama kota yang sebenarnya dimana hal tersebut berkaitan dengan adanya persekutuan Nusantara sejak jaman pemerintahan Prabu Kertanagara dari Singhasari. Kemenangan atas keta dan Sadeng memberikan kesadaran bahwa kekuatan Majapahit telah pulih kembali dan cita cita untuk mewujudkan politik Nusantara harus kembali diwujudkan. Setelah pulang dari penumpasan Sadeng, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Angabehi dan tidak beberapa lama kemudian diangkat menjadi Patih Amangku bumi sedangkan Ra Kembar diangkat menjadi Bengkel Araraman. Sumpah PalapaPatih Gajah Mada Peristiwa penting berikutnya dalam pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Program politik Gajah Mada pada hakekatnya adalah kelanjutan gagasan Nusantara pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara sehingga lebih tepat disebut gagasan Nusantara II yaitu usaha untuk menyatukan kembali Negara Negara diseberang lautan yang lepas kembali pada masa pemerintahan prabu Kertarajasa dan Jayanagara ditambah dengan Negara Negara Nusantara lainnya. Oleh karena luasnya program Nusantara II ini banyak para menteri yang tidak bisa memahami bahkan malah mengejek, sehingga untuk mewujudkan gagasannya tersebut maka perintang perintang tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu. Demikianlah akhirnya terjadi perubahan susunan menteri secara besar besaran pada masa awal kepemimpinan patih Gajah Mada dalam pemerintahan. Wilayah Kerajaan Majapahit sebelum tahun 1334 hanya meliputi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari Kitab Nagarakertagama diketahui pelaksanaan program politik Nusantara dimulai dengan penyerangan terhadap Pulau Bali, serangan tersebut terjadi pada tahun saka 1265 atau Tahun tahun 1343 Masehi. Wafatnya Tribhuwana Wijaya Tunggadewi Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 sesudah mengeluarkan Prasasti Singasari. Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk. Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Perhiasan Emas Peninggalan Majapahit Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapurayang terletak di desa Panggih dan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan. " Dari sekilas semua cerita yang saya dapat dari berbagai nara sumber. Walaupun saya sendiri tidak tahu persis bagaimana cerita sejarah tentang Kerajaan Majapahit yang sangat Kontroversi. Intinya adalah kita sendiri juga mengambil hikmah apa yang beliau lakukan pada masa jaya kepimpinannya di jiwa kepimpinan ratu kita patut contoh bagaimana kita mempunyai sikap kepimpinan yang tegas, adil,melawan musuh.
- Sepanjang sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, terdapat dua pemimpin perempuan. Salah satunya adalah Tribhuwana Tunggadewi 1328-1350, putri dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Selain Tribhuwana Tunggadewi, pada akhir kekuasaan Majapahit, terdapat satu perempuan yang kembali menempati posisi ratu, yaitu Dyah Suhita atau Ratu Kencono Kencono Wungu pun menjadi pemimpin perempuan terakhir di Kerajaan Majapahit. Lantas, siapa itu Ratu Kencoco Wungu atau Ratu Suhita? Baca juga Tribhuwana Tunggadewi, Ratu Majapahit Penakluk Nusantara Asal-usul Dyah Suhita Menurut NJ Krom, Ratu Suhita atau Dyah Suhita merupakan putri dari Bhre Wirabhumi. Hal ini berbeda dengan Kitab Pararaton, yang menjelaskan bahwa Dyah Suhita merupakan cucu dari Bhre Wirabhumi. Pendapat lain menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan putri penguasa kelima Majapahit, Wikramawardhana 1389-1429, dari selirnya. Ada juga yang menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan anak dari Wikramawardhana dengan Kusumawardhani. Sedangkan pendapat paling kuat menjelaskan bahwa Dyah Suhita adalah anak dari Wikramawardhana, yang memperistri putri kakak ipar sekaligus musuhnya. Terlepas dari perbedaan pendapat terkait asal-usulnya, Dyah Suhita merupakan putri yang menikah dengan Aji Ratnapangkaja. Aji Ratnapangkaja adalah salah satu pimpinan militer yang turut berperan dalam Perang Paregreg 1404-1406 melawan Bhre Wirabhumi dari Blambangan. Baca juga Kerajaan Majapahit Sejarah, Raja-raja, Keruntuhan, dan Peninggalan Menjadi Ratu Majapahit Setelah Bhre Wirabhumi kalah dalam Perang Paregreg dan terbunuh pada 1406, Wikramawardhana memimpin Majapahit hingga 1429. Sepeninggal Wikramawardhana, terjadi kebingungan siapa yang berhak memimpin Kerajaan Majapahit. Dalam Kitab Pararaton, disebutkan bahwa Wikramawardhana sempat menunjuk anaknya dari Kusumawardhani, yakni Rajakusuma atau Hyang Wekasing Putra, sebagai Hyang Wekasing Putra mati muda. Begitu pula dengan putra Wikramawardhana dari selirnya, Bhre Tumapel, yang juga meninggal. Keturunan Wikramawardhana hanya tersisa Dyah Suhita dan Bhre Kertawijaya, yang sama-sama dari selir. Akhirnya, Dyah Suhita ditunjuk sebagai pemimpin Majapahit karena lebih tua dari Bhre Kertawijaya. Dyah Suhita dilantik menjadi Ratu Majapahit pada 1429. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan orang yang sama dengan Ratu Kencana Wungu. Baca juga Siu Ban Ci, Bangsawan Muslim yang jadi Selir Raja Majapahit Bersama suaminya, Aji Ratnapangkaja, yang bergelar Bhatara Parameswara, Dyah Suhita memerintah Majapahit dari 1429 hingga 1447. Selama memimpin Kerajaan Majapahit, Dyah Suhita kembali menghidupkan kearifan lokal yang terabaikan karena polemik politik. Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa di era Dyah Suhita, kekuasaan atas Nusantara secara berangsur-angsur kembali ke Majapahit. Dyah Suhita juga mendirikan bangunan pemujaan di berbagai lereng gunung sebagai punden berundak, seperti di Gunung Penanggungan, Gunung Lawu, dan lain sebagainya. Meninggalnya Dyah Suhita Dyah Suhita menjadi Ratu Majapahit selama 18 tahun, hingga meninggal pada 1447. Sementara suaminya, Aji Ratnapangkaja, meninggal 10 tahun sebelumnya, yakni pada 1437. Baca juga 6 Penyebab Runtuhnya Kerajaan Majapahit Sepeninggal Dyah Suhita, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh adiknya, Bhre Kertawijaya atau dikenal dengan Brawijaya. Hal itu karena Dyah Suhita dan Aji Ratnapangkaja tidak dikaruniai anak. Dyah Suhita menjadi perempuan kedua dan terakhir yang memimpin Majaphit, setelah sebelumnya Tribhuwana Tunggadewi memerintah dari 1328 hingga 1350. Referensi Ramadhan, Prasetya. 2021. Jejak Peradaban Kerajaan Hindu Jawa 1042-1527. Yogyakarta Araska Mardiyono, Peri. 2020. Sejarah Kelam Majapahit Jejak-Jejak Konflik Kekuasaan dan Tumbal Asmara di Majapahit. Yogyakarta Araska. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Dimaharkan mustika ratu kencana wungu, mustika yang kami dapatkan dari pesisir pantai selatan ini mempunyai khodam berwujud sesosok wanita cantik yang selalu mengenakan pakaian berwarna ungu dan hijau didalam setiap kehadiranya. Mustika yang langka dan unik ini berguna dan bermanfaat untuk Memancarkan aura positif dari luar maupun dalam bak bidadari kayangan Membuat banyak orang terkagum-kagum dari cara bicara maupun tingkah laku. Memunculkan sikap wibawa yang menjadikan anda disegani Menumbuhkan cinta dipandangan pertama Membuat pasangan maupun rumah tangga menjadi harmonis Pagar ayu yang membuat pasangan tidak mungkin selingkuh Melancarkan karir,maupun usaha semakin maju dan berkembang tanpa pesaing Membuat lawan bertekuk lutut Sebagai pelancar rezeki,menarik rezeki dengan 4 penjuru pintu mata angin Bisa untuk bermain pil/wil Melancarkan negosiasi dan mudah untuk memenangkan tender Serta masih banyak manfaat lain dari mustika ini
pusaka ratu kencana wungu